Metroterkini.com - Pelantikan Presiden AS terpilih Joe Biden dan Wakil Presiden terpilih Kamala Harris berlangsung di tengah ancaman kekerasan dari grup pendukung Presiden AS Donald Trump dan pandemi Covid-19.
Kondisi krisis berlapis itu membuat situasi Ibu Kota AS, Washington DC, terasa mencekam bagi penduduknya, termasuk bagi warga asal Indonesia bernama Mega Valentina. Perempuan itu bermukim tidak jauh dari Gedung Capitol yang diserbu massa pendukung Trump pada 6 Januari lalu.
"Aku tinggal di daerah namanya Capitol Hill. Kebetulan daerah ini adalah tempat di mana US Capitol Building berada. Rumahku kurang lebih 800 meter dari gedung itu," kata Mega melalui sambungan Zoom dari Washington DC.
Sedemikian dekatnya apartemen Mega dengan Gedung Capitol, dia bisa jelas mendengar dengungan sirine mobil-mobil polisi dan truk pemadam kebakaran di kawasan permukimannya saat gedung itu diserbu.
Setelah kejadian itu, Mega bertahan di apartemennya. Akibat jalan-jalan ditutup memesan kebutuhan pokok di supermarket secara online menjadi tantangan. Ia harus membuat pesanan sejak tiga hari sebelumnya serta mempertimbangkan barter kebutuhan pokok dengan sesama warga asal Indonesia lainnya.
Apalagi sejak Wali Kota Washington DC mengimbau warganya untuk tidak meninggalkan rumah dari 17 hingga 21 Januari, atau sehari setelah inagurasi. Guna mengantisipasi perusuh, pagar-pagar setinggi empat meter didirikan mengelilingi Gedung Capitol dan tidak akan diturunkan selama 30 hari. Kini pagar-pagar itu pun telah dilengkapi kawat berduri.
Selain itu, sebanyak 15.000 personel Garda Nasional pun telah dikerahkan di Washington DC. Baca juga: Momen Pelantikan Biden Makin Dekat, Militer AS Tingkatkan Kewaspadaan Mobil-mobil lapis baja juga ditempatkan di berbagai jalan kota yang kini telah dibagi menjadi zona hijau dan zona merah.
Banyak jalan ditutup sehingga menyulitkan warganya bepergian. Di satu sisi Mega mengaku merasa aman melihat sejumlah personel militer bersenjata di permukimannya. Namun, di sisi lain, Mega merasa ancaman kekerasan semakin nyata. Meski demikian, Mega memutuskan untuk tidak mengungsikan diri.
"Enggak mengungsi, enggak keluar kota karena selain ada ancaman kericuhan di pelantikan, ini masih pandemi dan itu yang jadi dilema kalau keluar kota," jelas Mega.
Kerusuhan gedung Capitol berbeda dengan Mei 1998 di Jakarta Pasca penyerangan Gedung Capitol oleh massa pendukung Trump, banyak orang yang menyamakan insiden Januari 2021 itu dengan rentetan kerusuhan pada Mei 1998 di Jakarta. Thomas Pepinsky, seorang profesor ilmu pemerintahan dari Universitas Cornell, AS, menolak anggapan itu.
"Secara visual penyerbuan Gedung Capitol dan Gedung DPR MPR di Indonesia kelihatannya sama. Tapi yang terjadi di belakang visual itu adalah proses yang sangat berbeda," kata Thomas yang fasih berbahasa Indonesia.
Menurutnya, yang terjadi pada 1998 di Jakarta, mahasiswa dan massa lain berdemonstrasi dan masuk ke gedung untuk menunggu keputusan Presiden Suharto dan rezim pemerintahannya. Sedangkan yang terjadi di Washington DC, kata Thomas, adalah massa bersenjata yang mengamuk karena menuduh ada kecurangan dalam pemilu walau klaim itu tidak dapat dibuktikan melalui penghitungan ulang maupun lewat pengadilan.
"Itu jauh berbeda dengan yang kita lihat di Jakarta pada hari-hari terakhir rezim pak Harto," ujar Thomas yang pernah tinggal di Indonesia untuk meneliti dampak politik dari krisis moneter.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan tetap diadakan di area luar Gedung Capitol yang rutin digunakan untuk acara pelantikan Presiden AS. Media setempat menganggap kelangsungan ini adalah bukti ketahanan rakyat Amerika. Yang lebih penting, menurut Thomas Pepinsky, acara pelantikan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Amerika tetap berjalan dan ancaman dari perusuh tidak bisa menghentikan roda pemerintahan.
Selain menanti acara pelantikan Biden dan Harris, rakyat Amerika tengah menunggu sidang Senat soal pemakzulan Trump atas tuduhan menghasut massa untuk menyerang Gedung Capitol. Jika Senat menyetujui, Trump berpotensi dilarang mencalonkan diri lagi dalam pemilihan presiden di masa mendatang. Persetujuan Senat, menurut Thomas, harus dicapai oleh dukungan Partai Demokrat dan Partai Republik.
"Kalau persetujuan antar-partai itu tidak mungkin, kondisi demokrasi di AS memburuk lagi," tutur Thomas.
Gedung Capitol bisa jadi bukan yang terakhir Pasca serangan Gedung Capitol, seluruh negara bagian di Amerika bersiaga atas ancaman keamanan lanjutan.
"Mungkin akan ada lagi insiden, saya pikir peristiwa tersebut bukanlah yang terakhir. Meskipun begitu, penting untuk diingat bahwa pemerintahan Biden punya agenda ambisius untk membina hubungan konstruktif dengan mitra-mitra internasional Amerika. Ini bisa terjadi, walau insiden itu hanyalah yang pertama dari serangkaian gangguan ddalam politik Amerika," kata Thomas.
Di New Orleans, Negara Bagian Lousiana, jurnalis sebuah stasiun TV lokal, Paul Dudley, mendapat instruksi dari atasan untuk mencopot stiker-stiker logo stasiun televisi dari truk yang biasa ia kendarai untuk bekerja bersama timnya. Hal ini dilakukan menanggapi serbuan Gedung Capitol, ketika sejumlah jurnalis menjadi target penyerangan.
"Ada satu hal yang menarik. Atasan kami mengimbau tetap membawa tanda pengenal untuk bisa diperlihatkan Tetapi penting untuk tidak menggunakan tali untuk menggantung kartu identitas di lehermu, karena itu bisa digunakan untuk melumpuhkanmu," kata Paul yang telah bekerja selama hampir tiga tahun di New Orleans.
Paul mengamati opini yang berseliweran di jejaring sosial yang digunakan kaum berhaluan ekstrem kanan yang menargetkan jurnalis. "Ada sebuah unggahan yang cukup viral yang mengatakan bahwa kami menghalangi proses revolusi," jelas Paul. [**]